Assalamamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Orang yang rajin membaca bagaikan sedang melihat masa lalu dan masa depan, hadir disetiap sejarah, serta hadir di setiap imajinasi orang-orang hebat. selamat membaca, semoga bermanfaat setiap artikel yang admin sajikan.....

Perang Salib




Makalah SPI
PERANG SALIB
 









Disusun oleh:
Ilham Akbar (150802001)







JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH,
2016




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perang keagamaan (Perang Salib) yang terjadi hampir dua abad antara ummat Kristen di Eropa dengan ummat Islam di Asia menjadi sebuah sejarah panjang yang memberikan kontribusi berharga bagi kemajuan bangsa Eropa sekaligus sebuah peristiwa yang sangat memprihatinkan dan banyak memakan korban. Selain itu sejarah perang Salib akan menjadi pelajaran yang berharga bagi ummat manusia baik Barat maupun Timur.
Beberapa ulama enggan menyebut perang ini sebagai perang salib. Mereka punya istilah sendiri yaitu perang Sabil yang berasal dari kata perang Sabilillah atau Jihad Sabilillah (Perang atau Jihad di jalan Allah). Definisi umat Islam tentu saja adalah Perang di Jalan Allah untuk mempertahankan tanah suci Palestina dari serbuan kafir harbi Kristian.
Sedangkan perang Salib versi Katholik adalah ekspedisi ketenteraan yang dilakukan untuk merebut kembali tanah suci Palestina dari tangan penganut Mohammedanism, demikian definisi yang ada di beberapa kepustakaan Katholik .
Disebut dengan perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Islam.
Sejarah manusia menunjukkan betapa agama kerapkali dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Ini juga halnya yang terjadi pada perang Salib (Crusade). [ Istilah Crusade yang berarti Perang Salib ini berasal dari bahasa Prancis yakni “Croix“ yang bermakna salib atau “Cross“. Disebut perang ini dengan Perang Salib karena perang ini dipelopori oleh Paus Paulus Urbanus II dalam menghimpun Perang Salib dan berjanji memberikan ampunan bagi mereka (pasukan yang terlibat) sampai pada target akhir merebuit Yerussalem dari tangan kaum muslimin. ] Karena perang ini merupakan reaksi dunia Eropa terhadap dunia Islam di Asia. Bagi orang Eropa sendiri perang ini dianggap sebagai kebangkitan agama, bahkan merupakan gerakan kerohanian yang tinggi yang mana dunia Kristen Barat menyadari dan menemukan identitas baru.
Kebencian Kristen terhadap ummat Islam dimulai sejak disebarkannya Islam ke daerah-daerah kekuasaan Bizantium, terutama pada abad ke-8 Masehi, yakni ketika ummat Islam melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Kristen di Eropa. Mereka melihat bahwa kekuasaan Islam dapat mengancam bahkan menghancurkan Konstantinopel sebagai ibukota kerajaan Bizantium. Dendam dan kebencian yang disimpan ummat Kristen mencetuskan perang Salib yang tujuannya adalah merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah dikuasai ummat Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perang Salib
Kata Salib berasal dari bahasa Arab (salibun) yang berarti kayu palang/silang (Heuken, 1994:231). Peperangan tersebut disebut dengan Perang Salib karena didada seragam merah yang dipakai serdadu tergantung/terjahit tanda Salib, sehingga umat Islam yang diperangi menyebutnya dengan nama perang Salib (Arsyad, 1993:132). Perang Salib merupakan sebuah perang super-maraton yang berlangsung sepanjang 200 tahun, dimana bangsa-bangsa Kristen Eropa bangkit memerangi pusat-pusat negeri Islam yang selama kurang lebih 90 tahun kerajaan latin tegak di Yerussalem sebelum pada akhirnya terusir dari sana. Dalam perspektif Kristen, perang ini merupakan serangkaian operasi militer terhadap musuh-musuh gereja yang bertujuan membebaskan tanah suci dari cengkraman kaum Muslim.
Dalam Perang Salib lebih mengangkat motif agama sebagai masalah utama. Hal tersebut dimaksudkan tidak lain hanyalah untuk memberi suasana dahsyat pada peperangan itu, yang sulit diperoleh dan dibangkitkan dengan motif-motif lain. Di kawasan Timur Tengah jauh sebelum masa masehi orang yang melakukan kejahatan besar dihukum mati dengan diikat atau dipaku pada Salib. Hukuman kejam itu berasal dari Babilonia melalui Persia dan Fenisia diterima oleh hukum Romawi.
Menurut Dr. Said Abdul Fattah Syukur, Perang Salib; “Adalah merupakan gerakan spectakuler dari pihak Eropa Barat dengan misi imperialisme murni, yang ditujukan kepada beberapa negeri di belahan Dunia bagian Timur (khususnya negara-negara Islam) pada abad pertengahan, gerakan dengan bentuknya yang khas ini, pada akhirnya berhasil pula mempengaruhi dan memporak-porandakan segala aspek kehidupan bangsa dari negeri-negeri yang menjadi sasarannya, baik sosial, ekonomi, intelektual, budaya maupun religius” (Syukur, 1993:57).
Perang Salib menurut beberapa pakar sejarah dinilai merupakan kelanjutan misi keagamaan dari para peziarah Kristen ke tempat-tempat suci mereka (Yerussalem), yang dahulunya dibawah bendera perdamaian, pada perkembangannya berubah niat membawa misi perang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rombongan peziarah dibawah pimpinan Mitaz tahun 1064 M yang memimpin 7.000 peziarah bersenjata lengkap, lantaran termakan isu bahwa penguasa Yerussalem (waktu itu Bani Saljuk) telah melakukan penganiayaan terhadap para peziarah yang beragama Kristen. Sementara akibat penyerbuan Bani Saljuk ke Antioch telah mengakibatkan orang-orang Byzantium terusir dari wilayah itu. Hal inilah yang membuat para peziarah menjadi cemas sehingga mereka wajib mempersenjatai diri ketika berziarah.
Dari pemahaman diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Perang Salib adalah merupakan gerakan kaum Kristen untuk menguasai tempat-tempat suci, yang kemudian mereka pergi memerangi kaum muslimin di Palestina secara berulang-ulang dengan tujuan membersihkan tanah suci mereka (Yerussalem) dari kaum muslimin.
B. Penyebab Perang Salib
Di lihat dari perkembangangan sejarah, Perang Salib terletak pada bagian pertengahan dalam sejarah panjang interaksi Timur dan Barat, yang bagian awalnya tergambar dalam bentuk perang kuno antara bangsa Troya dan bangsa Persia, sedangkan perluasan imperialisme Eropa Barat menjadi penutup sejarah. Fakta geografis tentang perbedaan antara Timur dan Barat hanya bisa dipertimbangkan sebagai faktor penting terjadinya Perang Salib jika disandingkan dengan  pertentangan Agama, suku bangsa, dan perbedaan bahasa.
Sebagaimana telah diungkapkan dalam sejarah, bahwa sejak penaklukan Arab pada tahun 637 M oleh Khalifah Umar bin Khattab, Bait al-Maqdis berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Khalifah Umar bin Khattab selalu menjaga kehormatan tempat-tempat ibadah kaum Nasrani dengan baik. Demikian hal serupa dilaksanakan khilafah-khilafah sesudahnya sehingga kaum Nasrani yang datang tiap tahun untuk berziarah ke Bait al-Maqdis diberi jalan dengan mudah.[1]
Berikut ini adalah beberapa penyebab yang melatar belakangi timbulnya atau terjadinya perang salib antara lain:
Pertama, dengan kekuatan Bani Saljuk yang berhasil merebut Asia Kecil setelah mengalahkan Byzantium di Mazikart tahun 1071 M kemudian Bani Saljuq merebut  Baitul  Maqdis  dari tangan  Dinasti  Fatimiyah  tahun  1078  M. Kekuasaan Bani Saljuq di Asia Kecil dan Yerussalem dianggap sebagai halangan bagi pihak Barat untuk melaksanakan ziarah ke Bait al-Maqdis. Namun sebenarnya yang terjadi ialah bahwa pihak Kristen bebas melaksanakan ziarah secara bersama-sama. Tapi  ada isu yang mengatakan bahwa pihak Turki memperlakukan jama‟ah Kristen dangan kejam. Sehingga dengan adanya desas-desus tersebut itulah yang menimbulkan amarah kaum Kristen Eropa.
Kedua, semenjak abad X pasukan Muslim telah menguasai jalur perdagangan di laut tengah, dan para pedagang merasa terganggu atas kehadiran pasukan Muslim dan keberhasilannya di Laut Tengah tersebut, sehingga mereka mempunyai rencana untuk mendesak kekuatan Muslim dari laut itu, sebab dengan jalan itulah satu- satunya cara untuk memperluas dan memperoleh perdagangan.
Ketiga, propaganda Alexius Comnesus kepada Paus Urbanus II, untuk membalas kekalahan dalam peperangan melawan Bani Saljuq, Paus Urbanus II  segera mengumpulkan tokoh-tokoh Kristen pada tanggal 26 November 1095 di Clermont sebelah tetangga Perancis. Dalam pidatonya Paus memerintahkan untuk mengangkat senjata melawan pasukan Muslim. Dengan tujuan memperluas gereja- gereja Romawi supaya tunduk di bawah otoritasnya Paus. Dan Propagandanya Paus menjanjikan ampunan peperangan ini.[2]
Sedangkan adanya dugaan bahwa kaum Kristen dalam  melancarakan serangan dan dorongan motivasi keagamaan dan mereka menggunakan simbul  salib.
Namun jika dicermati lebih mendalam akan terlihat adanya beberapa kepentingan individu yang turut mewarnai Perang Salib.
Ketika idealisme keagamaan mulai menguap, para pemimpin polotik tetap saja masih berfikir mengenai keuntungan yang dapat diambilnya dengan menggunakan konsepsi mengenai Perang Salib.
Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ketanah suci umat Kristen itu, pada tahun 1095 Paus Urbanus berseruh kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang Suci. Perang ini kemudian yang dikenal dengan Perang Salib.[3]
Dengan pengaruhnya yang besar Paus Urbanus II menyerukan supaya maju ke medan perang untuk melawan umat Islam, serta dalam pidatonya Paus Urbanus II menjanjikan sekaligus menjamin barang siapa yang melibatkan diri dalam perang suci tersebut akan terbebas dari hukuman dosa. Sehingga hal ini membuat para pengikutnya tertarik dan mendapat sambutan dari kaum Kristen.
Dari tanggapan Paus Urbanus II berhasil memikat pihak orang dan memanfaatkan kepentingan banyak orang. Sehingga kekuatan kaum Kristen akan bertambah kokoh dengan terlaksananya atau adanya persatuan orang-orang Kristen. Fanatisme agama dan hasil rampasan perang juga mempunya tujuan yaitu membebaskan kota Suci.
Kenyataannya perang salib secara kusus menggambarakan reaksi orang Kristen di Eropa terhadap Muslim di Asia, yang menyerang dan menguasai wilayah Kristen sejak 632, tidak hanya di Suriah dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Ada berbagai hal yang menjadi sebab terjadinya Perang Salib, sebagian di antaranya, yaitu kecenderungan gaya hidup nomaden dan militeristik suku-suku Teutonik-Jerman yang telah mengubah peta Eropa sejak  mereka memasuki babak sejarah, dan perusakan Makam suci milik Gereja (Bait al-Maqdis), tempat ziarah ribuan orang Eropa yang kunci-kuncinya telah diserahkan pada 800 M kepada Charlemagne dengan berkah dari Uskup Yerussalem oleh al-Hakim. Kedaan itu semakin parah karena para peziarah merasa keberatan untuk melewati wilayah Muslim di Asia Kecil.[4]
C. Proses Perang Salib
1.  Perang Salib I (1094-1144 M)
Pada perang salib yang pertama keadaan umat islam sedang mengalami kemunduran, terutama  supremasi politik Daulah Abbasyiyah pada abad ke-9 M, mendorong para Gubernur atau Sultan yang memiliki tentara sendiri mendirikan pemerintahan quasi-vassal yang independen atau Dinasti-dinasti kecil. Para Sultan Dinasti-dinasti tersebut berusaha mendapatkan persetujuan dari Khalifah di Baghdad demi keabsahan kekuasaan mereka. Persetujuan dari Khalifah Abbasiyah ditandai  dengan penganugerahan pakaian kehormatan dan pemberian semacam sertifikat pengangkatan kepada mereka.[5]
Periode pertama Perang Salib disebut sebagai periode penaklukan. Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II, berhasil membangkitkan semangat umat KRISTEN, terutama akibat pidato Paus Urbanus II, pada consili clermont pada tanggal 26 November 1095, yang intinya mewajibkan untuk melakukan Perang Salib bagi umat Kristiani sehingga terbentuk kaum Salibin.
Gerakan  ini  merupakan  gerakan  spontanitas  yang  diikuti  oleh  berbagai kalangan masyarakat Kristiani. Hasan Ibrahim (sejarawan penulis buku Tarikh Al-Islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak mempunyai pengalaman berperang, gerakan ini dipimpin oleh Pierre I’ermite. Di sepanjang jalan menuju Constantinople mereka membuat keonaran bahkan terjadi bentrok dengan penduduk Hongaria dan Byzantium. Dengan adanya fenomena ini Dinasti Saljuk menyatakan perang terhadap gerombolan tersebut, sehingga akhirnya gerakan pasukan Salib dapat mudah dikalahkan.
Berawal dari kekalahan pihak kristiani Godfrey of Buillon mengambil alih kepemimpinan pasukan Salibin, sehingga mengubah kaum Salibin menjadi ekpedisi militer yang terorganisasi rapi. Dalam peperangan menghadapi pasukan Godfrey, pihak Islam mengalami kekalahan, sehingga mereka berhasil menduduki Palestina (Yerussalem) pada tanggal 07 Juni 1099.
Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama satu minggu terhadap umat Islam disamping itu mereka membumi hanguskan bangunan-bangunan umat Islam, sebelum pasukan ini menduduki Baitul Maqdis, mereka terlebih dahulu menaklukkan Anatolia, Tartur, Aleppo, Tripoli, Syam, dan Acre (Ahmad, 1999:124). Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta situasi Dunia Islam kawasan itu.
Sebagai akibat dari kemenangan itu, berdirilah beberapa kerajaan Latin-Kristen di Timur, yaitu kerajaan Baitul Maqdis (1099 M) di bawah pemerintahan Raja Godfrey, Edessa (1098 M) diperintah oleh Raja Baldwin, dan Tripoli (1109 M) dibawah kekuasaan Raja Raymond.
Perang Salib I ditandai oleh bangkitnya kerajaan Seljuk (Turki) yang memasuki Armenia, Asia kecil dan Syria, kemudian menyapu daerah kawasan Byzantium (Romawi) memporakporandakan angkatan perangnya di pertempuran Mazikert dan sepanjang laut tengah yang pada masa Alip Arselan dan Malik Syah, Yerussalempun dicaplok. Maka dari itu, Konstantinopel dibawah kepala gereja Hildeband yang menaiki tahta sebagai Paus Gregorius VII memohon bantuan dari para raja ksatria dan penduduk umumnya, sebab penakluk-penakluk dari Bani Seljuk itu dianggap berlaku kejam dan menindas orang-orang Kristen yang datang beribadah ke Baitul Maqdis.(Arsyad, 1993:77). Akan tetapi pada tahun 1095 M baru bisa menghimpun kekuatan sebesar 300.000 orang, atas usaha dari penggantinya yaitu Paus Urbanus II yang dibantu oleh guru bahasanya yaitu Peter, Sang Pertapa atau Peter Amiens. Peterlah yang menyerukan kepada seluruh raja dan pembesar raja Eropa-Kristen bersatu untuk memerangi Islam atas nama agamanya yang suci. Peter terus berkelana sambil terus berkampanye untuk itu.
Pada akhir tahun 1096 M dan awal tahun 1097 M, sekitar 150.000 tentara Salib sampai di Konstantinopel dibawah pimpinan Gadefroy, Bohemond dan Raymond. Pada awal tahun 1097 M tentara Salib mulai menyebrangi selat Bosporus lalu mengepung kota Niceae dan setelah dikepung selama sebulan, akhirnya kota jatuh ke tangan mereka pada tanggal 18 Juni 1097 M serta mereka dapat mengalahkan tentara Kalij Arsalan dari Bani Saljuk di Asia kecil. Pada tanggal 15 Juli 1099 tentara Salib mengepung Yerussalem selama tujuh hari dengan menyembelih tak kurang dari 70.000 umat Islam, dan pada saat itu pula Yerusalem dan kota-kota sekitarnya takluk. Kemudian tentara Salib mendirikan empat kerajaan Kristen yaitu di tanah suci Baitul Maqdis, Enthiokhie, Raha dan Tripolisyam, sedangkan  Nicola dikembalikan pada Kaisar Byzantium.

   2.      Perang Salib II (1144-1193 M)

Kemunculan Perang Salib Kedua (1145-1193) adalah  merupakan  rentetan daripada Perang Salib Pertama di mana kejatuhan Edessa atau al-Ruha kepada kaum Muslim cukup memberikan suatu impak yang sangat besar terhadap  pasukan Salib. Hal tersebut kerana Edessa merupakan negeri Salib yang pernah dibina pasukan Salib dalam siri Perang Salib Pertama, namun bertindak sebag ai negeri Salib pertama yang jatuh ke tangan umat Islam.[6]

Perang  Salib  II  juga  terjadi  sebab  bangkitnya  Bani  Seljuk  dan  jatuhnya Halab (Aleppo), Edessa, dan sebagian negeri Syam ke tangan Imaddudin Zanky (1144 M). Setelah Imaduddin meninggal, ia digantikan oleh puteranya yang bernama Nuruddin dan dibantu oleh Shalahuddin hingga tahun 1147 M. Perang Salib II ini dipimpin oleh Lode wiyk VII  atau Louis VII (Raja Perancis), Bernard de Clairvaux dan Concrad III dari Jerman. Laskar Islam yang terdiri dari bangsa Turki, Kurdi dan Arab dipimpin oleh Nuruddin Sidi  Saefuddin Gazi dan Mousul dan dipanglimai oleh Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub.

Pada tanggal 4 Juli 1187 terjadi pertempuran antara pasukan Shalahuddin dengan tentara Salib di Hittin dekat Baitul Maqdis. Dalam pertempuran ini kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan Salib, sehingga raja Baitul Maqdis dan Ray Mond tertawan dan dijatuhi hukuman mati. Kemenangan Shalahuddin dalam peperangan ini memberikan peluang yang besar untuk merebut kota-kota lainnya.Termasuk Baitul Maqdis, Yerussalem, Al Qudus. Pada saat kota Yerussalem direbut tentara Salib, mereka melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Islam, tetapi ketika kota itu direbut kembali oleh Shalahuddin, kaum muslimin tidak melakukan pembalasan terhadap mereka, bahkan memperlakukan mereka dengan baik dan lemah lembut. Pada saat Baitul Maqdis kembali ke tangan Umat Islam kembalilah suara adzan berkumandang dan lonceng gereja berhenti berbunyi serta Salib emas diturunkan dari kubah sakrah(Abyan dan Nurhuzaina, 1987:152).

Dalam periode ini disebut sebagai periode reaksi umat Islam atas jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib telah membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi kaum Salibin. Di bawah komando Imaduddin Zangi, Gubernur Mousul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib bahkan mereka berhasil merebut kembali Aleppo, Adessa (Ar-Ruha’)  pada tahun 1144 M.

Setelah Imaduddin Zangi wafat, posisinya digantikan putranya Nuruddin Zangi, dia meneruskan perjuangan ayahnya untuk membebaskan negara-negara Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan antara lain Damascus (1147 M), Antiok (1149 M) dan Mesir (1169 M). Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah munculnnya Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (Salahuddin) di Mesir, yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 2 Oktober 1187.

Hal ini membuat kaum Salibin untuk membangkitkan kembali basic kekuatan mereka sehingga mereka menyusun kekuatan dan mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Dalam ekspedisi ini dikomando oleh raja-raja Eropa yang besar, Frederick I (Raja Inggris) dan Philip II (Augustus, Raja Prancis). Ekpedisi militer Salib kali ini dibagi dalam beberapa devisi, sebagian menempuh jalan darat dan yang lainnya menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin devisi darat tewas tenggelam dalam penyebrangannya di sungai Armenia, dekat kota Ar-Ruha’, sebagian tentaranya kembali kecuali beberapa orang yang terus  melanjutkan perjalanannya di bawah pimpinan putra Frederick.

Adapun devisi yang menempuh jalur laut menuju Sicilia yang dipimpin Richard dan Philip II, disana mereka bertemu dengan pasukan Salahuddin, terjadilah peperangan  sengit, karena kekuatan tidak berimbang, maka pasukan Salahuddin mundur, dan Kota Acre ditinggalkan oleh Pasukan Salahuddin dan menuju ke Mesir untuk mempertahankan daerah itu.

Dalam keadaan demikian kedua belah pihak melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian damai, inti perjanjian damai tersebut adalah: “Daerah pedalaman akan menjadi milik kaum muslimin dan umat Kristen, yang akan berziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan Jaffa berada di daerah kekuasaan tentara Salib.” Tidak lama kemudian setelah perjanjian disepakati, Salahuddin wafat pada bulan Safar 589 H atau Februari 1193 M.

   3.      Perang Salib III (1193-1291 M)

Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah pimpinan Shalahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan kemampuannya mengatasi angkatan-angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume. Perang Salib III ini dipimpin oleh Kaisar Fredrick I Barbarosa dari Jerman Philip II August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart.

Ketika itu pasukan Jerman sebanyak 100.000 orang dibawah pimpinan Frederick Barbarosa, tetapi nasibnya sangat malang, ketika ia menyeberang, sebuah sungai yang jeram di Sisilia-Armenia ia mati tenggelam sehingga pasukannya kehilangan pemimpin dan pasukannya patah semangat, akhirnya pasukan tersebut ada yang memilih kembali ke negerinya dan ada pula yang terus untuk bergabung dengan pasukan lainnya. Tentara Inggris dan Prancis bertemu di Saqliah dan disini juga terjadi perselisihan antara Philiph dengan Richard yang akhirnya mereka kembali sendiri-sendiri. Richard mengambil jalan melalui Cyprus dan Philiph langsung menuju Palestina dan mengepung Akka. Akhirnya Akka dan Yaffa jatuh ditangan tentara Salib tetapi tidak bisa menduduki Baitul Maqdis dan dibuatlah perjanjian damai antara kedua belah pihak di Ramlah atau dapat disebut perjanjian Ar-Romlah (Hasan, 1967:99).

Tidak lama setelah perdamaian tersebut Shalahuddin wafat, dan digantikan oleh saudaranya Sultan Adil. Shalahuddin wafat setelah berhasil mempersatukan umat Islam dan mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan umat Islam.

Periode ini lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran di dalam pasukan Salib sendiri. Hal ini disebabkan karena periode ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material, dari motivasi agama.

Tujuan mereka untuk membebaskan Baitul Maqdis seolah-olah mereka lupakan, hal ini dapat dilihat ketika pasukan Salib yang disiapkan menyerang Mesir (1202-1204 M) ternyata mengubah haluan menuju Constantinople, kota ini direbut dan diduduki lalu dikuasai oleh Baldwin sebagai rajanya yang pertama.

Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah yaitu munculnya pahlawan wanita yang terkenal dan gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr, dia berhasil menghancurkan pasukan Raja Lois IX, dari Prancis dan sekaligus menangkap raja tersebut.

Dalam periode ini pasukan Salib selalu menderita kekalahan. Meskipun demikian mereka telah mendapatkan hikmah yang sangat besar, mereka dapat mengetahui kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya, bahkan kebudayaan dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisansce di Barat.


 4.        Perang Salib IV (1202-1206 M)

Tentara Salib berpendapat bahwa jalan untuk merebut kembali Baitul Maqdis adalah harus dikuasai terlebih dahulu keluarga Bani Ayyub di Mesir yang menjadi pusat  persatuan Islam ketika itu. Oleh karena itu kaum Salib memusatkan perhatian dan kekuatannya untuk menguasai Mesir.(Sou’yb, 1978:98). Akan tetapi Perang Salib IV ini dilakukan atas kerja sama dengan Venesia dan bekas kaisar Yunani. Tentara Salib menguasai Konstatinopel (1204 M) dan mengganti kekuasaan Bizantium dengan kekuasaan latin disana. Pada waktu itu Mesir diperintah oleh Sultan Salib, maka dikuatkanlah perjanjian dengan orang-orang Kristen pada tahun 1203-1204 M dan 1210-1211 M. Isi perjanjian  itu adalah   mempermudah   orang  Kristen  ziarah   ke   Baitul  Maqdis  dan menghilangkan permusuhan antara kedua belah pihak.

 5.        Perang Salib V (1217–1221 M)

Perang Salib V tetap berada di Konstantinopel dan tidak henti-hentinya terjadi konflik dengan pihak Kaisar. Perang Salib V dipimpin oleh Jeande Brunne Kardinal Pelagius serta raja Hongaria, meskipun pada tanggal 5 November 1219 kota pelabuhan Damietta mereka rebut, namun dalam perjalanan ke Kairo pada tanggal 24 Juli 1221 mereka membuat kekacauan di Al Masyura ( tepi sungai Nil) kemudian mereka pulang kampung.


 6.        Perang Salib VI (1228–1229 M)

Perang Salib VI dipimpin oleh Frederick II dari Hobiens Taufen, Kaisar Jerman dan raja Itali dan kemudian menjadi Raja muda Yerussalem lantaran berhasil menguasai Yerussalem tidak dengan perang tapi dengan perjanjian damai selama 10 tahun dengan Sultan Al-Malikul Kamil, keponakan Shalahuddin al-Ayyubi, namun 14 tahun kemudian yakni pada tahun 1244 kekuasaan diambil alih Sultan Al Malikul  Shaleh Najamuddin Ayyub beserta Kallam dan Damsyik.


 7.        Perang Salib VII (1248–1254 M)

Peperangan ini dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis pada tahun 1248, namun pada tahun 1249 tentara Salib berhasil menguasai Damietta (Damyat). Dimasa inilah pemimpin angkatan perang Islam, Malikul Shaleh mangkat kemudian digantikan putranya Malikul Asraff Muzafaruddin Musa. Ketika Louis IX gagal merebut Antiock yang dikuasai Sultan Malik Zahir Bay Bars pada tahun 1267/1268, lalu hendak merebut Tunis, ia beserta pembesar-pembesar pengiringnya ditawan oleh pasukan Islam pada 6 April 1250 dalam satu pertempuran di Perairan Mesir, setelah mereka memberi uang tebusan, maka mereka dibebaskan oleh Tentara Islam dan mereka balik ke negerinya.


 8.        Perang Salib VIII (1270-1272 M)

Dalam Perang Salib VIII yaitu pada tanggal 25 Agustus 1270 ini Louis IX telah binasa ditimpa penyakit (riwayat lain menyebutkan ia terbunuh). Akhirnya pada tahun 1492 Raja Ferdinad dan Ratu Isabella sukses menendang habis umat Islam dari Granada, Andalusia. Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Perang Salib VIII ini tidak sempat terbentuk karena kota terakhir yakni Aere yang diduduki oleh tentara Salib malahan berhasil dikuasai oleh Malikul Asyraf (putra Malikul Shaleh).

Dengan demikian terkuburlah Perang Salib oleh Perang Sabil. Tetapi meskipun Perang Konvensional dan Frontal itu sudah berakhir secara formal, namun sesungguhnya perang jenis lain yang kwalitasnya lebih canggih terus saja berlangsung seiring dengan kemajuan zaman.

 

 

 

 

 9.        Perang Salib Lanjutan (1291-1344 M)

Dalam Perang Salib lanjutan ini ada beberapa faktor yang melatar belakanginya yaitu ketika kaum muslimin mundur dari Cordova atau Granada oleh Ferdinand, Leon dan Castelin. Pada saat degradasi politik seperti itu Islam sedikit demi sedikit basic kekuatannya menurun. Adapun faktor lain yaitu; adanya perjanjian Tordessilas, yang menjadi semangat agama-agama katolik.

Perjanjian itu ditetapkan pada 4 Mei 1493, yang menyatakan antara lain; “Bahwa kepercayaan agama Katolik dan agama KRISTEN, teristimewa pada zaman kita ini, harus dimulyakan dan disempurnakan, serta disebarkan dimana-mana dan harus mengambil  alih Kerajaan Granada dari kelaliman para sara (muslimin)”.

Dengan adanya perjanjian tersebut, Perang Salib dikobarkan lagi dan dilancarkan  oleh orang-orang Portugis dengan tujuan bukan lagi mencari keuntungan, tetapi  melakukan ekspansi politik dan ekspansi keagamaan dan musuh pertama yang dihadapi adalah negara Islam. Para pendeta dan lembaga-lembaga missionaris oleh orang-orang Dunia Islam dianggap sebagai imperialisme. Dan merupakan satu aspek usaha penyingkiran lembaga-lembaga pribumi atau Islam dengan menggantikan sejarah setempat dengan kurikulum Barat. Dalam peperangan lanjutan ini pihak Kristen juga mengalami kekalahan, akan tetapi orang-orang Kristen dengan segala bentuk dan cara berusaha menghancurkan Islam baik melalui politik, ekonomi dan pendidika.

 

D. Dampak dari Perang Salib

Perang Salib yang terjadi sampai pada akhir abad XIII memberi pengaruh kuat terhadap Timur dan Barat. Di samping kehancuran fisik, juga meninggalkan perubahan yang positif walaupun secara politis, misi Kristen-Eropa untuk menguasai Dunia Islam gagal. Perang Salib meninggalkan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan Eropa pada masa selanjutnya. Akibat yang paling tragis dari Perang Salib adalah hancurnya peradaban Byzantun yang telah dikuasai oleh umat Islam sejak Perang Salib keempat hingga pada masa kekuasaan Turki Usmani tahun 1453. Akibatnya, seluruh kawasan pendukung kebudayaan Kristen Ortodox menghadapi kehancuran yang tidak terelakkan, yang dengan sendirinya impian Paus Urban II untuk menyatukan dunia Kristen di bawah menjadi pudar. Perubahan nyata yang merupakan akibat dari proses panjang Perang Salibialah bahwa bagi Eropa, mereka sukses melaksanakan alih berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkempang pesat di dunia Islam, sehingga turut berpengaruh terhadap peningkatan kualitas peradaban bangsa Eropa beberapa abad sesudahnya. Mereka belajar dari kaum muslimin berbagai teknologi perindustrian dan mentransfer berbagai jenis industri  yang mengakibatkan terjadinya perubahan besar-besaran di Eropa, sehingga peradaban Barat sangat diwarnai oleh peradaban Islam dan membuatnya maju dan berada di puncak kejayaan.
Bagi umat Islam, Perang Salib tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan kebudayaan, malah sebaliknya kehilangan sebagian warisan kebudayaan. Peradaban Islam telah diboyong dari Timur ke Barat. Dengan demikian, Perang Salib itu telah mengembalikan Eropa pada kejayaan, bukanhanya pada bidang material, tetapi pada bidang pemikiran yang mengilhami lahirnya masa Renaisance. Hal tersebut dapat dipahami dari kemenangan tentara Salib pada beberapa episode, yang merupakan stasiun ekspedisi yang bermacam-macam dan memungkinkan untuk memindahkan khazanah peradaban Timur ke dunia Masehi-Barat pada abad pertengahan.
Di bidang seni, kebudayaan Islam pada abad pertengahan mempengaruhi kebudayaan Eropa. Hal itu terlihat pada bentuk-bentuk arsitektur bangunan yang meniru gereja di Arnemia dan bangunan pada masa Bani Saljuk. Juga model-model arsitektur Romawi adalah hasil dari revolusi ilmu ukur yang lahir di Eropa Barat yang bersumber dari dunia Islam.Perang Salib memberi kontribusi kepada gerakan eksplorasi yang berujung pada ditemukannya benua Amerika dan route perjalanan ke India yangmengelilingi Tanjung Harapan. Pelebaran cakrawala terhadap peta dunia mempersiapkan mereka untuk melakukan penjelajahan samudera dikemudian hari. Hal tersebut berkelanjutan dengan upaya negara-negara Eropa melaksanakan kolonisasi di berbagai negeri di Timur, termasuk Indonesia. Bagi dunia Islam, Perang Salib telah menghabiskan asset kekayaan bangsadan mengorbankan putera terbaik. Ribuan penguasa, panglima perang dan rakyat menjadi korban. Gencatan senjata yang ditawarkan terhadap kaum muslimin oleh pasukan salib selalu didahului dengan pembantaian masal. Hal tersebut merusak struktur masyarakat yang dalam limit tertentu menjadi penyebab keterbelakangan umat Islam dari umat lain. 
Walaupun demikian, di sisi lain Perang salib membuktikan kemenangan militer Islam di abad pertengahan, yang bukan hanya mampu mengusir Pasukan Salib, tetapi juga pada masa Turki Usmani mereka mampu mencapai semenanjung Balkan (abad ke-14-15) dan mendekati gerbang Wina (abad ke-16 dan 17), sehingga hanya Spanyol dan pesisi timur Baltik yang tetap berada dalam kekuasaan Kristen[7]
BAB III
PENUTUP

Tragedi Perang Salib yang berlangsung selama hampir 2 abad mempengaruhi banyak hal, baik itu persepsi masyarakat Islam terhadap dunia Barat (Kristiani) dan cara pandang Kristen terhadap agama Islam. Saling menyerang dan membunuh yang terjadi pada Perang Salib tersebut secara kodrati memang hal yang wajar terjadi sesuai dengan kehendak zaman. Namun yang perlu diantisipasi oleh siapapun adalah menjadikan simbol-simbol sebagai pelegitimasi dan mengakumulasi kekuatan ummat untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya dapat merugikan bagi kehidupan ummat manusia itu sendiri. Hal ini terjadi sebagaimana peristiwa Perang Salib yang pada awalnya bukan hanya diawali oleh faktor agama tetapi sudah berbagai kepentingan yang bercampur aduk.
Perang Salib sekalipun dimenangkan oleh pihak Islam, tetapi jika dilihat dari perspektif peradaban (civilization) Islam sangat dirugikan dan sebaliknya Barat sekalipun kalah tetapi banyak belajar dan berhasil membangun peradaban yang lebih maju setelah melihat dasar-dasar sainsnya dari peradaban Islam. Dengan kata lain Barat berhutang jasa kepada Islam, sebab tanpa transformasi peradaban melalui tragedi Perang Salib ini, Barat tidak bisa berdiri tegak seperti sekarang ini.
Ummat Islam haruslah mencari dan dapat menemukan kembali mutiara yang hilang di masa lalu sehingga di masa mendatang Islam kembali mampu memimpin dunia dengan kejayaan peradabannya sebagaimana yang pernah dicapai pada masa dinasti-dinasti yang lalu.



DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim. 1989.  Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Humam. Yogyakarta: Kota Kembang
Hillenbrand, Carole. 1999. Perang Salib: Sudut Pandang Islam. Terj. Heryadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Jurnal Al-Tamaddun Bil. 7(1) 2012, Hal 67 Jurnal Al-Tamaddun Bil. 7(1) 2012
Osman, Latif. 1981.Ringkasan sejarah Islam II. Jakarta: Widjaya
Philip K. Hitti. 2010. History of The Arab. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet  Riyadi.  Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Syaefudin, Machfud. 2013. Dinamika Peradaban islam Prespektif Historis. Yogyakarta: Pustaka Ilmu



[1] Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet  Riyadi  (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 226.
[2] Machfud Syaefudin, et al, Dinamika Peradaban islam; Prespektif Historis (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), 142.
[3] A. Latif Osman, Ringkasan sejarah Islam II (Jakarta: Widjaya, 1981), 94.
[4] Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam. Terj. Heryadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1999), 65.
[5] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 209
[6] Jurnal Al-Tamaddun Bil. 7(1) 2012, Hal 67
[7]  Halina Rauf, http://www.acamedia.edu/896671/Akibat_Perang _Salib, diakses pada tgl: 10 Oktober 2016
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

My City

Berita Seputar Islam (Islampos)

Berita Seputar Aceh (Serambi Indonesia)